Ranah minang atau Minangkabau pada awal abad ke 20 di kenal sebagai salah satu daerah di
Indonesia yang menjadi tempat
kelahiran tokoh-tokoh Islam ternama.
Nama-nama seperti Imam Bonjol, H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir,
Hamka, M Natsir dan lain-lain semua
berasal dari Minangkabau Sumatra Barat.
M. Natsir lahir di
Alahan Panjang , Kabupaten Solok
Sumatra Barat, pada hari Jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 H. Bertepatan dengan
tanggal 17 Juli 1908 dari seorang wanita bernama Khadijah, ayahnya bernama
Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru
tulis pada kantor Kontroler di Maninjau. M. Natsir
tumbuh sebagai seorang yang berwatak keras dan ulet. Watak keras dan keuletannya nampak tatkala ia harus menempuh tiga pelajaran sekaligus dalam satu hari. Pagi, ia masuk sekolah umum di Hollands Inlands School (
HIS). Sore di Madrasah diniyah, belajar bahasa Arab dan malam hari ia mengaji. Guru-gurunya sangat senang
melihat kesungguhan Natsir sehingga ia di beri les ekstra. Di situlah ia mampu
menguasai kitab kuning yang kemudian sangat berguna mengantar Natsir sebagai tokoh dunia Islam.
Di samping belajar ia
juga mengajar dan menjadi guru
bantu kelas 1 pada sekolah yang sama. Ia menamatkan pendidikan HIS pada tahun
1923, ia belajar di HIS dan Madrasah
Diniyah di Solok dan di Padang. M. Natsir masuk mulo di Padang dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatanyang
bersifat extra kurikuler.Menurut M. Natsir
perkumpulan merupakan pendidikan
pelengkap selain yang didapatkan di
sekolah.
M. Natsir meneruskan pendidikan formalnya ke Alegmene Midelbare School (AMS) Afdeling A
di Bandung. Di kota bandung inilah bermula sejarah panjang
perjuangannya.Beliau belajar agama Islam
secara mendalam dan berkecimpung dalam gerakan politik, dakwah dan pendidikan.
Di kota ini M. Natsir bertemu dengan pendiri Persis, A. Hassan yang
diakuinya sangat mempengaruhi alam pemikirannya. Sejak belajar di AMS Bandung, M. Natsir mulai
tertarik pada gerakan Islam dan belajar
politik di perkumpulan JIB.
Sebuah
organisasi pemuda Islam yang anggota-anggotanya adalah pelajar-pelajar bumiputra yang bersekolah di sekolah Belanda.
Suatu keuntungan bagi M. Natsir dalam
usianya yang masih muda, beliau sempat bergaul dengan tokoh-tokoh nasional
seperti, Hatta, Prawoto Mangkusasmito,Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto dan Moh.
Roem.
Kemampuannya yang menonjol mengantarkannya menduduki kursi kursi ketua JIB Bandung 1928 -1932. Setelah belajar di AMS, M. Natsir
tidak melanjutkan kuliah melainkan mengajar
di salah satu MULO di Bandung.
Kenyataan ini merupakan panggilan jiwanya
untuk mengajarkan agama yang pada
masa itu dirasa belum memadai. Sadar
terhadap keadaan sekolah umum yang tidak
mengajarkan agama, M. Natsir lalu mendirikan
Lembaga Pendidikan Islam ( Pendis), suatu bentuk pendidikan modern yang mengkombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. M.Natsir
menjabat sebagai direktur Pendis selama sepuluh tahun, sejak tahun 1932.
Pada tahun 1938, M. Natsir mulai aktif di bidang politik dengan
mendaftarkan dirinya sebagai anggota
Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. M. Natsir menjabat ketua PII Bandung tahun 1940 hingga tahun 1942.
Pada masa pendudukan Jepang di Indinesia tahun 1942-1945, Jepang merasa
perlu merangkul umat Islam, maka
dibentuklah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Suatu badan federasi organisasi social dan
organisasi politik Islam. Dalam perkembangan selanjutnya majlis ini berubah menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (
Masyumi). Dan seanjutnya mengantarkan M.
Natsir sebagai salah satu ketuanya
hingga partai tersebut dibubarkan.
Pada masa-masa
awal kemerdekaan Republik Indonesia, M.
Natsir tampil sebagai seorang politisi
dan pemimpin Negara. “ Natsir
adalah seorang menteri dan
perdana menteri yang terkenal sebagai
administrator yang berbakat yang pernah berkuasa sesudah Indonesia merdeka”, demikian kata Herbert Feith.
Sesudah Indonesia merdeka ia dipercaya menjadi anggota Komite NasionalIndonesia Pusat (KNIP). Tatkala
perdana menteri Sutan Sjahrir memerlukan dukungan islam untuk kabinetnya dia memintanya menjadi menteri penerangan.
Tampilnya M. Natsir ke puncak tidak terlepas dari langkah strategisnya dalammengemukakan
mosi pada siding Parlemen republic Indonesia Serikat (RIS)
yang di kenal dengan “ Mosi integral M. Natsir”. Mosi yang kemudian
dengan sebagai mosi integral
Natsir, itulah yang memungkinkan RI kembali
menjadi Negara kesatuan Republik
Indonesia dengan wilayah yang membentang dari Sabang hingga Merauke.
Perjuangan Mohammad Natsir yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Masyumi bukan perkara
gampang . “Dua setengah bulan saya mengadakan lobi”, kata Natsir. Itu tidak
mudah, tuturnya, terutama dengan wilayah-wilayah di Luar Jawa. Di Parlemen RIS
itu juga Natsir bersepakat dengan Kasimo dari Partai Katolik dan Tambunan dari
Partai Kristen. Mereka mendukung perjuangan bahwa bentuk Negara RI serikat
harus segera di akhiri. Dan pada 17 Agustus 1950 negara ini benar-benar kembali
menjadi Negara kesatuan.
Sejak tahun 1930 –an , Natsir menolak keras paham sekularisme, walaupunsaat
itu bahaya sekularisme masih terselubung
. Pada pidati di sidang Konstituante 12 Nopember 1957, M Natsir secara bernas
mengupas sekularisme. Menurut M. Natsir hanya ada dua alternative untuk
meletakan dasar Negara dalam setiap
asasnya yaitu, pertama paham sekularisme, kedua paham agama.
Sekularisme adalah cara hidupyang mengandung paham,
tujuan, dan sikap hanya di dalambatas kehidupan keduniaan. Segala sesuatu dalam
penghidupan kaum seklaris tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas
kehidupan keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, tuhan dsb. Walaupun ada kalanya
kalangan sekularis mengakui eksistensi tuhan, tetapi dalampenghidupan
perseorangan sehari-hari, mereka tidak merasa perlu adanya hubungan jiwa dengan
Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari.
Pada masa
Demokrasi Terpimpin, ia mengambil sikap politik menentang pemerintah, keadaan
ini mendorongnya bergabung dengan para penentang lainnya dan membentuk Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Suatu pemerintahan tandingan di pedalaman Sumatra. Para tokoh PRRI menyatakan bahwa pemerintahan di bawah Presiden
Soekarno saat itu secara garis
besar telah menyeleweng dari UUD 1945.
Sebagai akibat
tindakan M. Natsir dan tokoh PRRI
lainnya yang didominasi oleh Masyumi,
mereka ditangkap dan dimasukan dalam penjara, M. Natsir dikirim ke Batu Malang (1962-1964).
Syafruddin Prawiranegara dikirimke Jawa
Tengah , Burhanudin Harahap dikirim ke
Pati Jawa Tengah dan Sumitro Djojohadikusumodapat lari ke luar negeri. Sebagai
Imbasnya Partai Masyumi di bubarkan pemerintah Soekarno.
M. Natsir dibebaskan pada bulan Juli 1966 setelah
pemerintahan Orde Lama diganti pemerintahan Orde Baru. Setelah memperoleh
kebebasanya, M. Natsir langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk umat
bangsa dan tanah air. Tanpa diminta siapapun M. Natsir melihat hubungan kurang
mesra antara Arab Saudi dengan Indonesia. M. Natsir mendakwai Raja Faisal untuk
kembali memesrakan hubungannya dengan Indonesia. M. Natsir jugalah yang di
masa-masa awal Orde Baru di undang pemerintah
Jepang ke Tokyo. Jepang ingin tahu dari
M. Natsir tentang pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal
Soeharto. Tanpa ada yang menyuruh, M. Natsir mendakwahi pemerintah jepang untuk
membantu Indonesia di bawah presiden Soeharto.
Pada waktu pemerintahan Orde Baru berkuasa , M. Natsir
tidak mendapat tempat dan kedudukan dalam pemerintahan. M. Natsir tidak diajak
oleh oleh pemerintah Orde Baru untuk
ikut bersama dalam mengelola Negara. Padahal kalau dilihat dari segi
kredibilitas dan kemampuannya sebagai seorang birokrat dan negarawan sebenarnya
tidak diragukan lagi. Apakah pemerintah Orde Baru mencurigai M. Natsir
karena pada masa Orde Lama dengan gigih mempejuangkan Islamsebagai dasar
Negara.
Melalui yayasan yang dibentuknya bersama para Ulama di
Jakarta yaitu Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), M. Natsir memulai aktifitas perjuangannya dengan memakai format dakwah bukan politik
lagi. Sikap kritis dan korektif M. Natsir pada masa itu membuat hubungannya
dengan pemerintah Orde Baru kurang mesra, kritiknya yang tajam dan menunjuk langsung pada persoala-persoalan
yang mendasar tetap menjadi aktifitas
rutinnya. Keberaniannya mengoreksi
pemerointah orde baru dan ikut
menandatangani petisi 50 menyebabkan M.Natsir dicegah ke luar negeri.
Di dunia internasional
M. Natsir dikenal karena
dukungannya yang tegas terhadap
kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia
sdan Afrika dan usahanya untuk menghimpun kerja sama antara Negara-negara muslim yang baru
merdeka. Sebagai sesepuh pemimpin
politik, M. Natsir
sering dimintai nasihat dan
pandangannya bukan saja oleh tokoh PLO,
Mujahidin Afganistan, Moro, Bosnia dan lainnya, tetapi juga oleh tokoh-tokoh politik dunia yang bukan muslim seperti Jepang dan
Thailand.
Sebagai penghormatan
terhadap pengabdian M. Natsir
kepada dunia Islam, ia menerima penghargaan Internasional berupa bintang
penghargaan dari Tunisia dan yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Dari
dunia pendidikan ia menerima gelar
Doktor Honoris Causa dari Universitas
Lebanon dalam bidang sastra, dan dari
Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia
(1991) dalam bidang pemikiran Islam.
M. Natsir
wafat pada tanggal 6 Februari
1993 bertepatan dengan tanggal 4 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita
utama di berbagai media cetak dan
elektronik. Mantan perdana menteri
Jepang yang di wakili
Nakajima menyampaikan bela sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan. “ Berita wafatnya M. Natsir
terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima.
EmoticonEmoticon