Biografi Jenderal Soedirman

Tags



Jenderal  Soedirman  dilahirkan pada 24 Jnuari 1916 di desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang  Kabupaten Purbalingga.  Ayahnya  seorang mandor tebu, ibunya juga wanita biasa, sejak bayi ia  diangkat  sebagai anak  oleh pamannya, seorang asisten wedana atau camat. 
 
 Karena naungan nama pamannya  Soedirman  dapat masuk ke Hollands Inlandse School (HIS) yang teruntuk buat anak priyayi. Dalam perguruan ini ia melanjutkan studinya yakni pada  MULO Wiworo Tomo sampai tamat.  Dar berbagai kesaksian dapat disimpulkan  bahwa dalam perguruan Wiworo Tomo ini, salah satu lembaga pendidikan nasional  yang oleh pemerintah kolonial Belanda disebut dengan sekolah liar.

Kecenderungan-kecenderungan  dalam jiwa Soedirman itu kemudian berkembang  lebih jauh ketika  ia memasuki kepanduan Hizbulwaton yang diasuh Muhammadiyah. Minatnya kepada Islam  mendalam  menjadi penghayatan yang serius baik dalam bidang ajaran-ajarannya maupun dalam ibadah. Ia kemudian menerjunkan diri  ke pergerakan yakni dalam Pemuda Muhamadiyah, disini ia dengan ketekunannya yang karakteristik, belajar dan  menguasai teknik-teknik aksi terorganisasi dan lebih memperkembangkan lagi kemampuannya untuk  memimpin manusia-manusia yang sulit diatur  dengan daya persuasinya  yang tenang dan berwibawa.

Seperti juga jenderal revolusi yang lain, Soedirman pernah menjadi guru. Setamatnya dari MULO Wiworo Tomo  ia diangkat menjadi guru pada HIS Muhammadiyah. Sebagai guru ia meningkatkan kemampuannya untuk menjelaskan sesuatu persoalan  yang rumit secara gambling. Sesuatu hal yang mempunyai kegunaan praktis kelak ketika  ia memegang tampuk pimpinan organisasi  dalam lingkungan Pemerintah Republik Indonesia yakni Angkatan Darat.

Maka berakhirlah zaman kolonial Belanda pada tahun 1942 dan mulailah pendudukan Jepang. Pada tahun 1943 pemerintah militer Jepang  di Jawa  mulai dengan pembentukan sebuah pasukan pribumi yang digariskan oleh Markas  Besar Kemaharajaan di Tokyo. Di seluruh jajaran tentara umum selatan  yakni komando mandala  yang meliputi  seluruh Asia Tenggara di bawah pimpinan Jenderal Besar  Terauchi. Mulai tahun 1943 dibentuklah apa  yang diberi nama giyugun  tentara sukarela, baik di Sumatera, Jawa, Malaysia dan Singapura.
Motivasi pihak jepang dalam mengotorisasi  pembentukan pasukan-pasukan  pribumi itu  adalah pertama kali militer yang kemudian memperoleh aspek politik. 

Aspek militernya adalah  bahwa pihak Jepang  sudah kehabisan manpower karena rentang ofensip mereka terlalu luas, sehingga  jepang memerlukan tenaga untuk tugas-tugas garnisun. Aspek politiknya adalah  bahwa mereka  member suatu taruhan  kepada rakyat yang negaranya mereka duduki, supaya secara maksimal membantu usaha perangnya dan secara minimal tidak memberontak kepada Jepang. Karena aspek rangkap ini, militer dan politis.Pihak Jepang memilih tokoh-tokoh-tokoh yang dianggapnya mempunyai pengaruh di daerahnya masing-masing untuk dijadikan pemimpin-pemimpin giyugun.  

Demikianlah  untuk para daidancho  atau komando  batalyon dari Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Soedirman  dipilih menjadi  menjadi salah satu diantara 69 daidancho  di Jawa, Madura dan Bali. Di dalam PETA inilah bertemu kebutuhan Jepang akan manpower dengan aspirasi bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah tentara nasional. Di dalam iklim  yang sedemikian itulah Soedirman menempuh masa akhir di dalam persiapan dirinya untuk tugas utama yang dipikulkan sejarah di atas pundaknya.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Indonesia  di proklamasikan  oleh Sukarno dan Hatta. Proklamasi itu menentukan Revolusi Indonesia yang berkobar  sampai akhir tahun 1949 tatkala eksistensi  dan hak hidup selanjutnya Republik Indonesia di akui oleh  keluarga bangsa-bangsa adalah wajar.

Pada  tanggal 3  Oktober 1945, presiden Sukarno mengeluarkan maklumat  mengenai pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Untuk melaksanankan  organisasi tentara yang baru lahir ini ditunjuk Oerip Sumoharjo, mayor pensiunan KNIL. Oerip Sumoharjo  yang diangkat  menjadi  Kepala Markas Besar Umum dengan pangkat letnan jenderal, segera mulai melaksanakan tugasnya. Karena situasi keamanan nasional ia memilih Yogyakarta  sebagai tempat kedudukan  Markas Besar Umum TKR.  Setelah satu setengah bulan  meletakan landasan organisatoris TKR, ia merasa bahwa sudah tiba saatnya untuk mementapkan personilnya dan untuk itu ia menyelenggarakan suatu konfrensi  di antara semua panglima  yang ada  untuk memilih puncak pimpinan TKR. Pada konferensi  itu  yang terpilih menjadi  Panglima Angkatan Besar adalah Soedirman.

Ketika revolusi meletus  Soedirman sedang dalam panggilan  pembesar-pembesar militer Jepang di Jawa Barat. Ia bergegas pulang  ke Banyumas dan di sana mengambil langkah-langkah untuk menyusun organisasi BKR. Ia terpilih sebagai kepala BKR keresidenan Banyumas dan kemudian bersama-sama  Mr. IshakTjokrohadisuryo yang baru saja di angkat menjadi residen Banyumas oleh Pemerintah Republik Indonesia,mengadakan diplomasi  dengan komandan batalyon jepang setempat. Sebagaihasil perundingan itu mereka memperoleh semua senjata api yang ada dikeresidenan Banyumas tanpa harus memberikan korban nyawa.

Setelah terpilih menjadi  Panglima Besar dalam konferensi TKR dalam bulan Nopember 1945, bulan berikutnya  Soedirman diangkat dan di lantik pleh Presiden Sukarno menjadi Panglima Besar Angkatan Perang  Republik Indonesia dengan pangkat jenderal. 

Maka sejak itu mulailah diletakan landasan awal bagi kehidupan TKR sebagai tentara nasional bangsa Indonesia.Jenderal Oerp Sumoharjo meletakan landasan-landasan teknis militer, sedangkan Jenderal Soedirman meletakan landasan-landasan kejiwaannya. Tugas mereka tidaklah gampang, satuan-satuan tentara  sudah terbentuk secara spontan dan dari bawah dalam suasana revolusioner yang hiruk pikuk di mana  disiplin dan ketertiban masih sukar dicari. 

Di sinilah bakat-bakat kepemimpinan Soedirman  Nampak efektif.  Menghadapi tugas penertiban organisasi suatu tentara  yang masih jauh daripada profesionalisme, maka nonprofesionalismenya yang fleksibel dapat mengisi profesionalisme yang kuat pada dir Oerip Sumoharjo.

Sementara itu pihak Belanda  telah selesai  dengan kekuatannya sekitar 100 ribu pasukan di darat, laut  dan udara  telah siap untuk menghancurkan Republik Indonesia. Setelah  pertempuran-pertempuran terbatasdi pelbagai tempat di tanah air, maka pada tanggal 21 Juli 1947, tentara ekspedisi  Belanda menyerbu ke daerah-daerah republic secara besar-besaran. Aksi militer 1 Belanda terhenti karena intervensi PBB.  

TNI tidak berhasil menahan musuh pada berbagai front, tetapi pengalaman pahit itu  membantu pemimpin-pemimpin angkatan perang di dalam merumuskan  doktrin pertahanannya yang baru, yang dikenal dengan nama Perang Rakyat Semesta.  Dalam system pertahanan ini  prinsip linier sudah ditinggalkan diganti dengan susunan lingkungan pertahanan yang terkecil dan kecamatan sebagai unit pertahanan militer yang terendah.

Pada semua front , TNI dengan dukungan rakyat melancarkan  perang gerilya yang dalam waktu singkat menggagalkan rencana Belanda untuk menghancurkan TNI. Jiwa perang gerilya itu adalah  Panglima Besar Jenderal Soesirman yang sejak masa itu menjadi buah bibir rakyat dengan sebutan pak Dirman.

Mengapa Soedirman menjadi  tokoh sentral selama perang gerilya itu:

Pertama, pada waktu itu pimpinan nasional yakni  Presiden dan Wakil Presiden telah membiarkan diri mereka di tawan oleh musuh, ketika Belanda menyerbu ibukota Yogyakarta, hal ini menyebabkan  Soedirman  menjadi lambing daripada perlawanan terhadap musuh. 

Kedua, Soedirman memperoleh respek dari segenap pejuang pada waktu itu karena ia menepati janjinya  akan memegang kembali kembali tumpuk pimpinan angkatan perang, apabila musuh menyerang kembali. Pada waktu itu Soedirman telah berbulan-bulan non-aktif, karena harus beristirahat untuk penyembuhan penyakit paru-paru yang dideritanya. Ia mengetahui kosekwensinya  apabila ia harus berangkat ke medan gerilya, ia akan dipaksa untuk terus berpindah-pindah dalam segalamacam  cuaca tanpa istirahat. Namun ia menepati janjinya.

Ketiga, selama gerilya itu TNI pada akhirnya berkesempatan untuk mengembangkan ethosnya, suatu ethos yang oleh Soedirman dirumuskan sebagai Tentara Nasional Tentara Rakyat, tentara revolusi.

Meski menderita sakit tuberkulosis paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1950 ia wafat karena penyakit tuberkulosis tersebut dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 dan meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun.


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon