KH. Abdurrahman Wahid atau sering di panggil Gus
Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Tambak beras Jombang Jawa Timur. Ayahnya
adalah KH. Hasyim Wahid putra pendiri NU Hedratus Seikh KH. Hasyim Asy’ari.
Salah seorang penandatangan piagam Jakarta serta menteri agama pada masa
Kabinet Hatta, Natsir dan Sukiman. Sedang dari garis ibunya
Ia mewarisi darah KH. Bisri Syamsuri, salah seorang Rois Aam NU. Dengan
demikian ia tidak diragukan lagi telah berada pada
posisi inti dalam kosmologi dan emosi komunitas NU sebagai pewaris ayah
dan kakeknya.
Dalam banyak aspek Gus Dur seakan memang telah
dipersiapkan sebagai putra mahkota yang kelak akan memimpin NU.
Idealisme yang dicita-citakan KH. Wahid terhadap putranya ini
tergambar jelas dalam nama yang diberikan : Abdurrahman Ad-dakhil . Secara
leksikal ad-dakhil berarti sang penakluk. Sebuah nama yang diambli KH.
Wahid dari seorang perintis dinasti Bani Umayyah yang telah menancapkan tonggak
kejayaan Islam di Spanyol berabad silam. Sayangnya KH. Wahid Hasyim
meninggal pada saat Gus Dur berumur 13 tahun.
Semasa di SMEP di Yogyakarta Gus Dur telah banyak membaca buku-buku yang sulit dipahami bahkan oleh orang dewasa yang terpelajar sekalipun, seperti What is to be done? Karya Lenin yang diinggriskan, Captain’s Doughter yang ditulis Turgenev atau karya monumental Marx, Das Capital.
Pengembaraanya di dunia pesantren di mulai di pesantren Tegalrejo Magelang, selama tiga tahun sejak tahun 1956 diasuh dalampengawasan langsung KH. Chudlori. Dari sini Gus Dur melanjutkan ke pesantren Tambakberas dan tinggal di sana selama empat tahun. Tahun 1964-1966 Gus Dur melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di kairo, Mesir. Ia tidak menyelesaikan studinya di Al-Azhar karena universitas itu tidak kondusif untuk Gus Dur. Selama dua tahun diKairo justru digunakan untuk belajar di luar universitas, mengikuti halqah, menghabiskan waktunya di perpustakaan nasional Mesir serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Prancis.
Selepas dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad, Irak sampai tahun 1970, saat ia di panggil pulang ke Jombang. Di kota kecil ini Gus Dur memulai tahap kehidupan yang berikutnya bagi putra kiai mengajar di pesantren.
Karirnya sebagai pendidik sebenarnya di mulai sejak 1959 dengan mengajar di madrasah Muallimat Bahrul Ulum selagi ia mondok di Tambakberas. Sekembali dari Timur Tengah ia mengajar di pesantren Tebuireng. Antara 1972-1974 Gus Dur menjadi Dekan Fakultas Ushuudin Universitas Hasyim Asy’ari dan lima tahunberikutnya ia menjadi sekretaris pesantren Tebuireng, sampai tahun 1979 ia pindah ke Jakarta dan memulai kiprahnya di PB NU. Di Jakarta karir pendidiknya tidak berakhir, di samping mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, ia juga mendirikan sekaligus memimpin sebuah pesantren di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Semasa di SMEP di Yogyakarta Gus Dur telah banyak membaca buku-buku yang sulit dipahami bahkan oleh orang dewasa yang terpelajar sekalipun, seperti What is to be done? Karya Lenin yang diinggriskan, Captain’s Doughter yang ditulis Turgenev atau karya monumental Marx, Das Capital.
Pengembaraanya di dunia pesantren di mulai di pesantren Tegalrejo Magelang, selama tiga tahun sejak tahun 1956 diasuh dalampengawasan langsung KH. Chudlori. Dari sini Gus Dur melanjutkan ke pesantren Tambakberas dan tinggal di sana selama empat tahun. Tahun 1964-1966 Gus Dur melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di kairo, Mesir. Ia tidak menyelesaikan studinya di Al-Azhar karena universitas itu tidak kondusif untuk Gus Dur. Selama dua tahun diKairo justru digunakan untuk belajar di luar universitas, mengikuti halqah, menghabiskan waktunya di perpustakaan nasional Mesir serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Prancis.
Selepas dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad, Irak sampai tahun 1970, saat ia di panggil pulang ke Jombang. Di kota kecil ini Gus Dur memulai tahap kehidupan yang berikutnya bagi putra kiai mengajar di pesantren.
Karirnya sebagai pendidik sebenarnya di mulai sejak 1959 dengan mengajar di madrasah Muallimat Bahrul Ulum selagi ia mondok di Tambakberas. Sekembali dari Timur Tengah ia mengajar di pesantren Tebuireng. Antara 1972-1974 Gus Dur menjadi Dekan Fakultas Ushuudin Universitas Hasyim Asy’ari dan lima tahunberikutnya ia menjadi sekretaris pesantren Tebuireng, sampai tahun 1979 ia pindah ke Jakarta dan memulai kiprahnya di PB NU. Di Jakarta karir pendidiknya tidak berakhir, di samping mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, ia juga mendirikan sekaligus memimpin sebuah pesantren di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Wawasan intelektual Gus dur yang terbentuk sejak
dini bukan saja pada hal non agama namun juga pada aspe keagamaan.
Sehingga ia di nilai sebagai salah seorang pemikir Islam Liberal di
Indonesia meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi sekuler seperti
Nurcholis Majid.
Liberalitas cara berpikir itulah yang agaknya telah mengundang banyak penentang bahkan pencaci terhadap Gus Dur. Cara pikir yang liberal dan cenderung generalis tersebut merupakan stimulant terpenting yang mengundang permusuhandan penentangan terhadapnya.
Tentang ideologi. Pemikiran Gus Dur soal ideologi muncul secara kcontroversial menjelang pengasastunggalan Pancasila. Menurut Gus dur ideologi harus diletakan pada neraca penilaian yang sangat pragmatis dan tidak terlalu diagungkan sebagai suatu “benda suci”, meskipun tetap dipandang sangat sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Gus Dur fungsi utama ideologi adalah sebagai faktor pemersatu bangsa serta pemberi arah bagi penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Penggunaan ideology untuk kepentingan yang lebih sempit dari fungsi tersebut, misal sebagai landasan legitimasi bagi otoriterisme suatu rezim terhadap masyarakat hanya akan mendorong kehancuran ideologi tersebut.
Ia berpendapat bahwa berbagai ideologi universal yang masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai berbagai hal seperti kemasyarakatan, perekonomian dan lain-lain telah masuk ke Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Olehnya ideologi-ideologi itu dibagi dalam dua kategori umum,yakni ideology sekuler dan ideology yang teokratis. Ideologi sekuler menghendaki agar agama tidak turut menjadi faktor penentu dalamkehidupan kenegaraan, sehingga Negara harus netral dalam soal agama. Dan agama dipandang semata-mata sebagai urusan pribadi individu. Nasionalisme, sosialisme, komunismedan kapitalisme termasuk dalam ideology sekuler ini.
Ideologi dalam kategori yang kedua menginginkan agar agama (Islam) menjadi kekuatan penentu utama dalam kehidupan bernegara, sehingga terbentuk sebuah Negara teokratis. Jadi Negara turut bertanggungjawab atas terlaksannya syariat agama dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan individu.
Sudah pasti sekularisme tidak akan dapat diterima oleh Bangsa Indonesia yang religius dengan keyakinan bahwa agama bagaimanapun tetap berperan dalam kehidupan bernegara.
Sementara teokratisme juga sulit diwujudkan mengingat masyarakat Indonesia sudah terlanjur terbentuk dalam suatu model yang terkotak-kotak. Terlebih lagi Gus Dur tidak yakin bahwa Islam memang memilki konsep pemerintahan yang definitif. Sehingga pemaksaan diterapkannya Islam dalam tatanan penyelenggaraan Negara secara konseptual tidak beralasan. Gus Dur membuktikan bahwa dalam satu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan suksesi kepemimpinan , Islam ternyata tidak menunjukan konstanta tertentu, akibatnya hanya 13 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammas SAW, para sahabat telah menerapkan tiga model yang berbeda; Istkhlaf, Bai’at dan Ahlul Halli Wal Adi.
Liberalitas cara berpikir itulah yang agaknya telah mengundang banyak penentang bahkan pencaci terhadap Gus Dur. Cara pikir yang liberal dan cenderung generalis tersebut merupakan stimulant terpenting yang mengundang permusuhandan penentangan terhadapnya.
Tentang ideologi. Pemikiran Gus Dur soal ideologi muncul secara kcontroversial menjelang pengasastunggalan Pancasila. Menurut Gus dur ideologi harus diletakan pada neraca penilaian yang sangat pragmatis dan tidak terlalu diagungkan sebagai suatu “benda suci”, meskipun tetap dipandang sangat sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Gus Dur fungsi utama ideologi adalah sebagai faktor pemersatu bangsa serta pemberi arah bagi penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Penggunaan ideology untuk kepentingan yang lebih sempit dari fungsi tersebut, misal sebagai landasan legitimasi bagi otoriterisme suatu rezim terhadap masyarakat hanya akan mendorong kehancuran ideologi tersebut.
Ia berpendapat bahwa berbagai ideologi universal yang masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai berbagai hal seperti kemasyarakatan, perekonomian dan lain-lain telah masuk ke Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Olehnya ideologi-ideologi itu dibagi dalam dua kategori umum,yakni ideology sekuler dan ideology yang teokratis. Ideologi sekuler menghendaki agar agama tidak turut menjadi faktor penentu dalamkehidupan kenegaraan, sehingga Negara harus netral dalam soal agama. Dan agama dipandang semata-mata sebagai urusan pribadi individu. Nasionalisme, sosialisme, komunismedan kapitalisme termasuk dalam ideology sekuler ini.
Ideologi dalam kategori yang kedua menginginkan agar agama (Islam) menjadi kekuatan penentu utama dalam kehidupan bernegara, sehingga terbentuk sebuah Negara teokratis. Jadi Negara turut bertanggungjawab atas terlaksannya syariat agama dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan individu.
Sudah pasti sekularisme tidak akan dapat diterima oleh Bangsa Indonesia yang religius dengan keyakinan bahwa agama bagaimanapun tetap berperan dalam kehidupan bernegara.
Sementara teokratisme juga sulit diwujudkan mengingat masyarakat Indonesia sudah terlanjur terbentuk dalam suatu model yang terkotak-kotak. Terlebih lagi Gus Dur tidak yakin bahwa Islam memang memilki konsep pemerintahan yang definitif. Sehingga pemaksaan diterapkannya Islam dalam tatanan penyelenggaraan Negara secara konseptual tidak beralasan. Gus Dur membuktikan bahwa dalam satu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan suksesi kepemimpinan , Islam ternyata tidak menunjukan konstanta tertentu, akibatnya hanya 13 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammas SAW, para sahabat telah menerapkan tiga model yang berbeda; Istkhlaf, Bai’at dan Ahlul Halli Wal Adi.
Bagi Gus Dur, yang terpenting suatu Negara ditegakan di atas banyak pilar yang mengindahkan keragaman masyarakat di mana Negara itu di bangun
KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4 pada tahun 1999 dan menjabat hingga tahun 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001.
Pada tanggal 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dan meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun